TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar satu setengah bulan setelah pemerintah membuka kembali ekspor benih lobster atau benur, Zenzi Suhadi tak yakin ada yang berubah bagi perekonomian nelayan yang hidup di pesisir Lampung hingga Sumatera Barat. Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ini mengatakan, membudidayakan lobster tidak serta-merta akan membuat mereka sejahtera.
“Ini dalam jangka pendek malah menimbulkan masalah. Harga jual yang diterima nelayan tidak sampai 10 persen dari harga ekspor, selisihnya sangat besar," ujar Zenzi kepada Tempo, Juni lalu.
Benih lobster. Foto: KKP
Berdasarkan penelusuran Walhi, sejak keran ekspor benur dibuka, nelayan yang bekerja sebagai pembudidaya lobster harus puas menerima harga jual bibit yang sangat rendah, yakni Rp 4.000-9.000 per ekor. Angka ini jauh dari rata-rata harga yang dipatok eksportir untuk penjulan benih lobster ke luar negeri dengan tawaran US$ 13 per ekor. Dihitung dengan kurs yang berlaku saat ini, harga tersebut setara dengan Rp 180 ribu.
Disparitas harga kelewat tinggi itu bukanlah satu-satunya masalah yang muncul pasca-pemerintah menggaungkan kembali ekspor benur. Seperti diketahui, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020, ekspor benih lobster yang sempat dilarang di masa Susi Pudjiastuti, dibuka lagi.
Sedari awal Susi Pudjiastuti terang-terangan menolak rencana pemerintah menghalalkan pengiriman bayi lobster karena dinilai akan merugikan dari sisi lingkungan. Menurut Susi, meski hasil ekspor benur menggiurkan, kebijakan itu tidak sepadan dengan risiko kerusakan ekosistem yang dihadapi negara pada masa mendatang. Sebab, kata dia, ekspor benur dalam jumlah besar mengancam kelangsungan hidup lobster di habitatnya. "Nelayan enggak boleh bodoh atau kita akan dirugikan kalau itu dibiarkan," kata Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-209 itu.
Sikap Susi Pudjiastuti didukung lembaga pemerhati lingkungan hidup, Blue Green Indonesia (BGI). Ketua Umum BGI Dian Sandi Utama mengatakan, kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terlampau terburu-buru. Dia meminta Edhy lebih memperhatikan keberlanjutan lingkungan ketimbang ego sektoral.